KEDUDUKAN QANUN DALAM SISTEM
PERUNDANG-UNDANGAN*
Oleh
Faisal A. Rani * Makalah Yang Disampaikan pada Muzakarah Majelis Permusyawaran Ulama (MPU) Aceh, Kamis Tanggal 03 Desember 2009, di Banda Aceh.
Pendahuluan
Pembangunan hukum di Aceh, dilaksanakan berdasarkan pada 2 (dua) kerangka landasan, yaitu (1) nilai, kaedah, dan moral yang berlandaskan syari’ah dan ajaran Islam, dan (2) pembangunan hukum itu berada dalam suatu lingkungan yang lebih luas, yaitu sistem hukum nasional. Dengan demikian implementasi syari’ah dalam arti pembentukan hukum dan perubahan hukum di Aceh harmoni dalam lingkungan yang lebih luas, sistem hukum nasional.
Sistem nilai, kaedah, dan moral yang berlandaskan syari’ah dan ajaran Islam, sesuai dengan sifatnya yang kaffah, mendudukkan manusia dalam kedudukan yang istimewa, sebagai khalifah di planet bumi, yang didasari oleh iman. Sistem ini telah mempengaruhi kehidupan individu dalam tingkah lakunya, dan tatanan masyarakat Aceh. Oleh karena itu, sistem nilai, kaedah, dan moral yang berlandaskan syari’ah dan ajaran Islam menjadi landasan yang mewarnai pembangunan hukum.
Pembangunan hukum dilakasanakan bukan hanya sekedar memenuhi tuntutan politik, tetapi juga dimaksudkan untuk menjawab tuntutan masyarakat agar hukum dapat memainkan peranan penting dalam mewujudkan cita-cita keadilan dan kemakmuran.
Secara nasional, filosofi yang dianut dalam pembangunan hukum belum berubah, konsep hukum pembangunan, yang menempatkan peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, belum mengalami perubahan. Sementara itu telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan ketatanegaraan, dari sistem otoritarian ke sistem demokrasi, dan dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik. Perubahan tersebut berdampak pada sistem hukum yang dianut sebelumnya, terutama dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah yang lebih mengedepankan dominasi kepentingan pemerintah pusat dari pada kepentingan daerah.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 menjadi landasan yuridis dalam implementasi dua kerangka landasan tersebut di atas dalam pembangunan hukum di Aceh. Dalam konteks ini, ada 3 (tiga) masalah mendasar yang mendesak dan segera mulai diimplimentasikan, yaitu :
Pertama, mulai diprogramkan usaha internalisasi, aktualisasi, dan implimentasi prinsip, nilai, kaedah syari’at dan ajaran Islam dalam pembentukan hukum, baik hukum tertulis maupun dalam pembentukan hukum melalui pratek penegakan hukum. Pembentukan hukum merupakan usaha yang terus menerus tanpa henti, oleh karena itu usaha pembentukan hukum yang berlandaskan syari’at, yang meliputi ahwal al syakhshiyah, mu’amalah, jinayah, qadha’ (peradilan), tarbiyah, dan lain-lain, harus diprogramkan sebagai usaha yang berkesinambungan.
Kedua, penataan kelembagaan aparatur hukum dalam kerangka pelaksanaan syari’at Islam, masih belum tertata dengan baik dan komprehensif. Untuk masih perlu usaha terus menerus kelembagaan aparatur hukum, terutama penguatan tentang pemahaman due process of law, impartial trial, transparancy, accuntability, dan the right to counsel;
Ketiga, peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Keberhasilan pembentukan materi hukum dan kelembagaan aparatur hukum, belumlah cukup usaha mewujudakan keadilan dan kemakmuran melalui pembangunan hukum, tanpa diikuti dengan kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum harus dibentuk sebagai budaya hukum masyarakat.
Ketiga masalah tersebut di atas menjadi inti dalam format pembangunan hukum di Aceh, yang secara inklusif berada dalam “sistem hukum nasional”, yang mencakup materi hukum, kelembagaan aparatur hukum, dan kesadaran hukum sebagai bagian dari budaya hukum masyarakat.Sistem hukum dan sistem hukum nasional
Dalam kamus bahasa, sistem diartikan antara lain “sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud: misal, sistem urat syaraf dalam tubuh, sistem pemerintahan”. Dengan demikian, sistem hukum dalam arti luas mencakup keseluruhan elemen pengertian hukum yang meliputi perangkat putusan hukum, kelembagaan hukum, dan budaya hukum.[1]
Sistem hukum merupakan refleksi dari asas dan kaedah hukum yang berlaku, yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat tertentu, dan sistem hukum juga berkenaan dengan pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Pembangunan sistem hukum bukanlah pembangunan yang terpisah dari pembangunan asas dan kaedah hukum (materi hukum), pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Pembangunan sistem hukum tidak lain dari pada pembangunan hukum itu sendiri.[2]
Sistem hukum nasional dipahami dalam pengertian unity in diversity. Sistem hukum nasional harus dilihat secara luas, dalam pengertian diversitas sumber hukum, hukum tertulis, tidak tertulis, hukum adat, hukum kebiasaan, dan norma-norma agama. Hukum yang hidup dari suatu kelompok masyarakat, dihargai dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional bukan dalam arti sempit, sebagai suatu kesatuan hukum yang tunggal. Dengan demikian sistem hukum nasional harus dipahami dalam pengertian diversitas kelompok sosial, dengan berbagai variasi norma sosial dan kebiasaan yang merupakan patokan keadilan, yang memberi landasan kepada pembentukan hukum, baik nasional maupun lokal sebagai subsistem hukum nasional.
Dalam pandangan ahli atau ilmuan hukum di Indonesia, tidak terdapat pemahaman yang sama tentang pengertian sistem hukum (nasional),[3] dan kebanyakan ahli mengakui keberagaman hukum (pluralistik) yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, istilah “sistem hukum” tidak diinterpretasikan dengan sistem norma hukum positif dalam bentuk tunggal. Akan tetapi ungkapan “sistem hukum” dapat dan harus diinterpretasikan bahwa sistem hukum nasional itu terdiri berbagai sub sistem hukum, dan mengakui adanya diversitas hukum yang bernaung di bawah sistem hukum nasional.
Sejarah hukum di Indonesia membuktikan bahwa sistem hukum nasional bukan dalam pengertian sistem norma tunggal demikian itu, tetapi mengakui pluralisme (diversity) hukum dalam satu kesatuan sistem hukum nasional. Hukum adat atau norma-norma kebiasaan dengan berbagai variasi diakui eksistensinya dalam sistem hukum nasional, dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Dengan demikian sistem hukum nasional, di dalamnya terdiri dari berbagai sumber norma hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Sunaryati Hartono,[4] mengungkapkan bahwa hukum sebagai sistem tidak hanya mengidentifikasikan hukum dengan peraturan hukum atau/bahkan lebih sempit lagi hanya dengan undang-undang saja. Peraturan hukum hanya merupakan salah satu unsur saja dari keseluruhan sistem hukum, yang meliputi (1) asas-asas hukum; (2) peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari undang-undang, peraturan pelaksanaan undang-undang, yurisprudensi (case law), hukum kebiasaan (hukum adat), konvensi-konvensi internasional, asas-asas hukum internasional; (3) SDM yang profesional, bertanggungjawab dan sadar hukum; (4) pranata-pranata hukum; (5) lembaga-lembaga hukum; (6) sarana dan prasarana hukum; dan (7) budaya hukum. Sistem hukum terbentuk oleh interaksi ke 7 unsur tersebut, dan semuanya harus berfungsi dengan baik.
Sistem hukum itu tidak sekedar kumpulan norma atau kaidah hukum tertulis, tetapi terkait di dalamnya sejumlah subsistem sebagai komponennya yang saling berkaitan dan berinteraksi. Mochtar Kusumaatmadja,[5] memandang komponen sistem hukum itu terdiri atas : (1) asas-asas dan kaidah-kaidah (norma-norma; (2) kelembagaan hukum; dan (3) proses perwujudan kaidah atau norma hukum itu dalam kenyataan. Dengan demikian dalam sistem hukum, di samping susunan kaidah hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) dan tidak tertulis, termasuk juga dalam pengertiannya unsur operasionalnya yang mencakup keseluruhan organisasi, lembaga, dan pejabat; serta unsur aktualnya atau penerapannya dalam perilaku (peristiwa) konkrit, atau penerapan dan penegakannya.
Sistem Peraturan Perundang-undangan
Dalam suatu sistem hukum, sebagai pengaruh ajaran positivisme hukum dari Hans Kelsen, norma-norma hukum tertulis itu tersusun secara hirarkhis sesuai dengan kewenangan lembaga yang membentuknya. Susunan norma-norma hukum tertulis tersebut sudah lazim di Indonesia disebut dengan “peraturan perundang-undangan”, sebagai terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda “wet in materiele zin”. Susunan peraturan perundang-undangan sering juga disebut dengan istilah “tata hukum” sebagai subsistem dari “sistem hukum” (tatanam hukum).[6]
Sistem peraturan perundang-undangan adalah sistem mengenai peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari berbagai komponen sebagai satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Komponen-komponen dimaksud mencakup :
(1) pembentukan peraturan perundang-undangan;
(2) tertib dan jenis peraturan perundang-undangan; dan
(3) materi muatan peraturan perundang-undangan.
Membentuk peraturan perundang-undangan merupakan kekuasaan yang selalu melekat atau dilekatkan kepada negara atau pemerintah, dan hanya ada pada negara atau pemerintah. Kekuasaan atau kewenangan untuk membentuk peratuan perundang-undangan tidak dapat dan tidak akan pernah dapat dialihkan pada badan atau kekuasaan yang bukan negara atau bukan pemerintah.[7]
Kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan merupakan salah satu kekuasaan negara untuk membuat keputusan. Negara melalui alat-alat perlengkapan atau jabatannya dapat membuat berbagai macam keputusan. Keputusan tersebut ada yang berbentuk peraturan perundang-undangan dan ada yang bukan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-uindangan adalah keputusan tertulis yang dibuat oleh suatu jabatan atau pejabat yang berwenang (pemangku jabatan atau pejabat pemerintah) yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau yang mengikat (secara) umum.[8] Karena bersifat atau mengikat secara umum, peraturan perundang-undangan selalu bersifat abstrak. Disebut mengikat secara umum karena subjeknya tidak tertentu pada individu atau individu-individu tertentu atau peristiwa konkrit tertentu. Keputusan yang mengatur tingkah laku golongan tertentu tetap dimasukkan sebagai peraturan perundang-undangan, oleh karena golongan tersebut bersifat umum.
Kekuasaan membentuk qanun di Aceh sebagai produk perundang-undangan, adalah termasuk dalam lingkup pengertian keuasaan negara. Oleh karena kewenangan atau kekuasaan Aceh membentuk qanun dalam rangka menjalankan bagian dari organisasi kekuasaan negara.
Tertib peraturan perundang-undangan diartikan sebagai rangkaian asas-asas atau konsep-konsep yang harus diperhatikan atau dipegang untuk menjamin peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan sistem baik dalam peraturan perundang-undangan itu sendirimaupun dengan sistem hukum pada umumnya. Beberapa tertib peraturan perundang-undangan tersebut adalah:
(1) Peraturan perundang-undangan bagian dari sistem hukum, oleh karena itu harus tersusun dalam rangkaian sistem hukum yang berlaku, baik dalam tingkat cita hukum, tujuan (fungsi) hukum, sistematika hukum, dan lain sebagainya.
(2) Peraturan perundang-undangan tersusun dalam tata urutan berjenjang, karena itu:
a. yang tingkanya lebih rendah tidak boleh mengatur materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya materi muatan Peraturan Gubernur tidak boleh mengatur materi muatan qanun; kecuali yang tingkat yang lebih tinggi mendelegasikannya;
b. materi muatan peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh mengenyampingkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan
c. suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat diubah, dicabut, atau dinyatakan tidak berlaku oleh yang sederajat; misalnya peraturan gubernur tidak boleh mengubah, mencabut, atau menyatakan tidak berlaku qanun.
(3) Suatu peraturan tidak memuat ketentuan yang bertentangan dengan peraturan lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi. Setiap kehendak untuk mempertentangkan harus dinyatakan dan diatur dengan tegas akibat-akibatnya.
(4) Dalam hal terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis, berlaku prinsip bahwa peraturan perundang-undangan diutamakan.
(5) peraturan perundang-undangan hanya mempunyai daya laku ke depan.
(6) peraturan perundang-undangan hanya mempunyai kekuatan mengikat jika dibentuk dan atau ditetapkan oleh jabatan atau pejabat yang berwenang.
(7) peraturan perundang-undangan hanya dapat mendelegasikan pengaturan kepada peraturan yang tingkatannya lebih redah.
Jenis perauran perundang-undangan menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/2000, dalam Pasal 2 diatur tata urutan peraturan perundang-undangan (tata hukum), yang susunannya adalah (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat R.I.; (3) Undang-undang; (4) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu); (5) Peraturan Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; dan (7) Peraturan Daerah. Menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ditegaskan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah:
(a) UUD RI tahun 1945;
(b) Undang-Undang/PERPU;
(c) Peraturan Pemerintah;
(d) Peraturan Presiden;
(e) Peraturan Daerah.
Jenis atau bentuk perautran perundang-undang di atas adalah bentuk formal sistem perundang nasional, yang normanya tersusun secara hirarkhis.
Harmonisasi dan Singkronisasi
Suatu sistem norma hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) dinamis, antara satu norma dalam suatau peraturan perundang-undangan dengan yang lainnya harus harmonis, dan harus tercipta singkronisasi baik vertikal maupun secara horizontal dalam suatu sistem norma (sistem peraturan perundang-undangan). Dalam suatu sistem norma (tata hukum) tidak boleh ada kontradiktif dalam dirinya, saling bertentangan, ia harus harmonis, harus tercipta singkronisasi baik vertikal maupun horizontal.
Untuk menciptakan suatu singkronisasi sistem norma hukum (tata hukum) bukan perkerjaan yang mudah, karena begitu banyak peraturan perundang-undangan baik jenis, bentuk, maupun waktu pembentukannya akan sulit untuk mengontrol baik ke samping (horinzontal, sederajat) maupun ke atas (vertikal, yang lebih tinggi). Dalam satu sektor saja, akan menghadapi kesulitan untuk menciptakan singkronisasi dan harmonisasi tersebut. Walaupun demikian pertentangan norma dalam sistem perundang-undangan tidak boleh terjadi, supaya sistem norma itu memberi kepastian hukum. Oleh karena itu, agar suatu sistem norma peraturan perundang-undangan tidak menimbulkan suatu kontradiktif dalam dirinya, maka harus menciptakan asas-asas yang mencegah timbulnya kontradiktif itu, misalnya asas-asas :
· lex superior derogat legi inferiori (peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menguasai peraturan yang lebih rendah).
· lex posterior derogat legi priori (peraturan yang baru didahulukan dari peraturan yang lama; peraturan yang kemudian menghapuskan peraturan yang terdahulu).
· lex specialis derogat legi generali (peraturan khusus menyimpang dari peraturan umum).
Asas tersebut menjadi penting dan sangat fungsional dalam suatu sistem hukum (tata hukum) untuk mmenciptakan harmonisasi dan singkronisasi sistem hukum (nasional). Jika dalam sistem peraturan perundang-undangan (dalam sektor tertentu) terjadi saling bertentangan satu sama lain baik secara vertikal ataupun horizontal, asas-asas ini harus difungsikan. Dalam sistem hukum tidak boleh terjadi tumpang tindih atau saling bertentangan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya.
5.3. UU PA dan Sistem Hukum Nasional
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Aceh merupakan tatanan hukum dalam sistem hukum dan sistem perundang-undangan nasional. Dalam Pasal 1 angka 21 Undang-Undang No.11 Tahun 2006, ditentukan bahwa “Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.” Dalam Pasal 233 ayat (1) ditentukan bahwa “qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan.”
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, dalam Pasal 136 ayat (2) ditegaskan bahwa “peraturan daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.” Pada ayat (3) pasal yang sama ditentukan lebih lanjut bahwa peraturan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dariperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 ditentukan bahwa “peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.” Kemudian dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ditentukan bahwa “materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”
Dapat disimpulkan bahwa Qanun merupakan salah satu bentuk hukum tertulis dalam sistem perundang-undangan nasional, yang sejenis dengan Peraturan Daerah. Numum secara khusus isinya berbeda, oleh karena kewewenangan mengatur dan materi muatan tertentu dalam qanun didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006. Sedangkan materi muatan “peraturan daerah” yang secara umum berpedoman pada ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.
Pemerintah Aceh berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 mempunyai kewewenang spesifik untuk mengatur beberapa hal tertentu sebagai materi muatan qanun, misalnya tentang pelaksanaan syari’at Islam. Kewenangan ini secara hukum adalah sah, sebagai kewenangan atribusi (attributie van bevoegheid), yang diciptakan atau dibentuk oleh pembentuk undang-undang (DPR), yang sebelumnya tidak ada, dan secara khusus diadakan untuk itu.
Dengan demikian Qanun merupakan bagian dari sistem perundang-undangan nasional, dan oleh karena itu norma atau kaedah hukum yang diatur atau materi muatan dalam Qanun merupakan sub sistem dari sistem hukum nasional. Disebut “sub sistem” oleh karena wilayah berlakunya adalah khusus atau bersifat lokal. Walaupun berlakunya pada wilayah khusus akan tetapi penegakan hukumnya tetap melibatkan institusi dalam sistem peradilan nasional.
5.4. Materi Muatan Qanun
Secara umum materi muatan qanun sama dengan materi muatan peraturan daerah, rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan.[9] Namun beberapa hal untuk materi muatan qanun berbeda dengan “peraturan daerah” pada umumnya, yang berdasarkan UU PA, materi muatan qanun antara lain:
(1) Qanun dibentuk (materi muatan) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Aceh, yang terkait dengan semua kewenangan pemerintahan Aceh yang tercantum dalam Pasal 7 UU PA.
(2) Dapat mengatur semua urusan wajib yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) UU PA.[10]
(3) Dapat mengatur urusan wajib yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (2), yang meliputi :
a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam;
b. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam;
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan; dan
e. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji.
(4) Urusan Pemerintah Aceh yang bersifat pilihan yang secara nyata berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan.
(5) Materi muatan pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana tercantum dalam Pasal 125, yang meliputi:
a. ibadah;
b. ahwal al syakhshiyah;
c. muamalah;
d. jinayah;
e. qadha’ (peradilan);
f. tarbiyah (pendidikan); dan
g. dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
(6) Materi muatan dalam rangka penyelenggaraan syari’at Islam, sebagaimana tercantum dalam Pasal 127.
(7) Materi muatan sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Suatu hal yang sangat spesifik materi muatan qanun adalah ketentuan tercantum dalam ketentuan Pasal 241 ayat 4 UU PA. Dalam Pasal 143 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa “Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).” Pasal 241 UU PA berbunyi:
(1) Qanun dapat memuat ketentuan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian, kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Qanun dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.
(4) Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dikecualikan dari ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 241 ayat (4), UU PA membedakan materi muatan qanun dari segi pengaturan sanksi. Untuk qanun yang materi muatannya mengatur tentang pelaksanaan syari’at Islam di bidang jinayah (hukum pidana), sistem sanksi dikeculikan dari ketentuan ayat (1), (2), dan (3). Sedangkan untuk qanun yang materi muatannya bukan di bidang jinayah, sanksi dan denda mengacu kepada ketentuan yang tercantum dalam ayat (1), (2), dan (3) Pasal 241 UU PA.
5.5. Sistem Pengawasan tehadap Qanun
Perubahan penting lain dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2007 adalah masalah pengawasan atau kontrol pemerintah pusat terhadap regulasi yang dilakukan pemerintah lokal.
Dalam Undan-Undang No. 32 Tahun 2004, ditentukan bahwa peraturan daerah yang telah ditetapkan disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Apabila peraturan daerah diamksud bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka dibatalkan oleh Pemerintah. Pembatalan dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya peraturan daerah itu oleh Pemerintah. Apabila daerah tidak menerima pembatalan tersebut, maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatan itu dikabulkan, putusan Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Presiden batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.[11]
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006, juga ditegaskan bahwa Pemerintah dapat membatalkan qanun yang bertentangan dengan kepentingan umum, antar qanun, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Qanun dapat diuji oleh Mahkamah Agung. [12]
Dalam Pasal 235 ayat (4), pengaturan secara khusus untuk qanun yang mengatur tentang pelaksanaan syari’at Islam. Qanun yang materi muatannya tentang pelaksanaan syari’at Islam tidak dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Qanun tentang syari’at Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah Agung. Ketentuan ini sangat sesuai dengan prinsip supremasi hukum dalam konsep negara hukum. Peraturan perundang-undangan yang buat oleh badan legislatif tidak dapat dibatalkan oleh badan kekuasaan lain kecuali oleh badan peradilan melalui proses peradilan hak uji materil. Pembatalan produk badan legislatif oleh Pemerintah, walaupun produk badan legislatif lokal (daerah), menempatkan badan legislatif (daerah) pada kedudukan subordinatif terhadap Pemerintah.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat tiga hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievluasi. Hasil evaluasi disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri disampaikan kepada Gubernur paling lambat 15 hari terhitung sejak diterimanya rancangan tersebut. Apabila hasil evaluasi tersebut sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan APBD menjadi Peraturan Daerah.[13]
Berbeda halnya dengan mekanisme pengawasan Rancangan APBA yang diatur dalam UU PA. Dalam Pasal 235 ayat (5) dan ayat (6) ditentukan bahwa evaluasi rancangan qanun tentang APBA dilakukan oleh Pemerintah “sebelum disetujui bersama antara Gubernur dan DPRA”. Gubernur mengevaluasi rancangan qanun tentang APBK sebelum disetujui bersama antara bupati/walikota dan DPRK. Dengan demikian UU PA menempatkan badan legislatif pada kedudukan yang selayaknya dalam fungsi anggaran, dengan dengan memberi ruang evaluasi terhadap RAPBA oleh Pemerintah pada tahap “sebelum disetujui bersama” antara DPRA dan Gubernur.
Penutup
Dalam system perundang-undangan, bahwa secara hukum kedudukan atau eksistensi qanun sangat jelas, merupakan bagian dari system perundang-undangan nasional.
Bapak/Ibu peserta Muzakarah yang kami muliakan; demikian beberapa hal yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan ada manfaatnya. [1] Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Disampaikan Dalam Simposium Nasional yang diadakan oleh Badn Pembinaan Hukum Nasional, 2003, dalam Seminar Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003, hlm. 36.
[2] Bagir Manan, Pemahaman Mengenai Sistem Hukum Nasional, Disampaikan pada kuliah perdana, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Unpad, Bandung, Oktober 1994.
[3] Bernard Arief Sidharta, menjelaskan “tata hukum” (sistem hukum) adalah keselururhan asas-asas hukum, aturan-aturan hukum tertulis dan tidak tertulis, pranata-pranata hukum serta putusan-putusan hukum yang tersusun dan saling berkaitan sehingga mewujudkan satu kesatuan yang utuh, lihat B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Fundasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996, hlm. 93.
[4] Sunaryati Hartono, “Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003”, Seminar Pembangunan Hukum Nasionl VIII Buku 3, hlm. 227.
[5] Dalam Idem, hlm. 91.
[6] Ibid.
[7] Bagir Manan, Sistem Perundang-undangan Indonesia, Kursus SJDI Hukum dan Teknik Perundang-undangan Dalam Lingkungan Dep. Pertambanagan dan Energi, BPHN, 1993.
[8] Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonedia, Ind Hill Co., Jakarta, 1992, hlm. 3.
[9] Bandingkan dengan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 136 ayat (2) dan (3), bahwa “Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota, dan tugas pembantuan.”, yang “… merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.”
[10] Bandingkan dengan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 13 ayat (1).
[11] UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 145
[12] UU No. 11 Tahun 2006, Pasal 235.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar